Sejarah tradisi mudik.
Hari Raya Idul Fitri tinggal dua minggu lagi. Para perantau yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta biasanya akan melakukan sebuah tradisi yang dinamakan mudik untuk merayakan Lebaran bersama keluarga tercinta di kampung halaman. Biasanya musim mudik dimulai sejak tujuh hari sebelum Lebaran.
Ada berbagai cara untuk mudik ke kampung halaman. Mulai dari menggunakan transportasi umum seperti kereta api, menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil, hingga ikut mudik gratis yang biasa diselenggarakan oleh pemerintah tiap tahun menjelang Lebaran.
Meski kita semua mungkin sudah tahu apa itu mudik. Tapi tahukah Anda seperti asal-usul mudik? Ternyata, ada cerita menarik di dalamnya. Menurut dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam. Dulu, wilayah kekuasaan Majapahit mencakup Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Oleh karena itu, pihak kerajaan Majapahit menempatkan pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga daerah kekuasaannya.
Suatu ketika, pejabat itu akan kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap sang Raja sekaligus mengunjungi kampung halamannya. Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik. Selain berawal dari kerajaan Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka kembali menghadap Raja saat Idul Fitri.
Istilah mudik sendiri mulai terkenal pada tahun 1970-an. Mudik merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halaman mereka untuk berkumpul bersama keluarga. Mudik menurut orang Jawa berasal dari kata Mulih Disik yang berarti pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka merantau.
Sedangkan masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai "kembali ke udik". Dalam bahasa Betawi, udik berarti kampung. Saat orang Jawa hendak pulang kampung, orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik". Dari situ lah secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari "udik" menjadi "mudik".
Selain mengunjungi sanak keluarga di kampung halaman, saat mudik, para perantau juga biasanya melakukan ziarah ke kuburan sanak keluarganya, hingga pergi berlibur ke tempat wisata yang ada di kampung halaman atau wilayah di sekitarnya.