Berawal dari tagar menjadi gerakan yang mendunia.

Sumber foto: Pixabay

Dipicu oleh kematian George Floyd, seorang pria kulit hitam di Minneapolis, akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi, masyarakat di berbagai belahan seluruh dunia tengah gencar menyuarakan gerakan Black Lives Matter.
 
Alicia Garza, Opal Tometi, dan Patrisse Cullors merupakan tiga sosok wanita penting dalam gerakan Black Lives Matter yang mendunia saat ini. Ketiganya menginisiasi gerakan tersebut atas dasar kepedihan rasisme yang pernah mereka alami. Gerakan ini pertama kali diinisiasi pada tahun 2013 sebagai aksi protes atas pembebasan pembunuh Trayvon Martin, remaja kulit hitam di Florida. Tanggal 13 Juli menjadi hari peringatan Black Lives Matter, di mana orang yang dituduh membunuh Trayvon Martin, George Zimmerman dinyatakan tidak bersalah dan bebas.
 
Awalnya, Alicia Garza mengunggah tulisan di laman Facebook-nya atas dasar kekecewaan setelah dibebaskannya Zimmermen. Di kolom komentar, Patrisse Cullors menambahkan tagar #BlackLivesMatter. Sementara Opal Tometi, yang merupakan ketua dari gerakan sosial Black Alliance for Just Immigration mengajak keduanya untuk membuat sebuah platform guna nengentaskan rasisme terhadap kelompok minoritas, termasuk orang kulit hitam.
 
Mengingat tingginya tingkat kasus rasial di Amerika Serikat, gerakan ini tidak hanya mencari keadilan bagi orang kulit hitam saja, namun juga kelompok minoritas lain seperti orang Asia, transphobia, homophobia dan seksisme.
 
Sejak 2016, gerakan ini mulai menyebar hingga ke negara-negara lain. Pemicunya masih sama, yakni rasisme yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap orang kulit hitam. Saat itu, gerakan Black Lives Matter mulai menggema di Prancis. Aksi tersebut terjadi setelah kematian Adama Traore, pria kulit hitam berusia 24 tahun yang saat itu berada dalam tahanan polisi. Dikutip dari BBC, meski sudah empat tahun berselang, gerakan Black Lives Matter kembali mencuat di Paris Puluhan ribu orang menggelar aksi protes dengan cara melawan aturan pembatasan sosial di tengah pandemi COVID-19. Aksi kekerasan tidak dapat dielakkan, massa yang marah melempari batu ke arah polisi, sebaliknya, polisi melontarkan gas air mata.
 
Slogan Black Lives Matter pun telah menyebar secara masif di berbagai penjuru dunia, tak hanya lewat poster-poster yang dibawa saat unjuk rasa saja, namun juga tagar yang ramai dicuitkan di media sosial. Kendati dianggap membawa pesan yang baik, demonstrasi besar-besaran yang yang mengumpulkan banyak orang dan tidak saling menjaga jarak dikhawatirkan berpotensi menularkan wabah COVID-19.
 
Oleh sebab itu, WHO mengimbau untuk berunjuk rasa dengan cara aman termasuk menggunakan masker dalam aksi protes, mencuci tangan, menutup mulut ketika batuk dan bersin, serta melakukan isolasi mandiri setelah berunjuk rasa untuk menekan risiko penularan COVID-19.