Top photo credit: papasemar.com
Siapa yang tidak kenal ketupat? Hidangan ini seolah menjadi menu wajib saat Lebaran, baik Idulfitri maupun Iduladha. Ketupat biasanya disajikan dengan berbagai menu pendamping seperti rendang, ayam goreng, sayur labu siam, sambal goreng kentang, hingga kerupuk.
Meski sudah menjadi tradisi, namun belum banyak masyarakat yang mengetahui sejarah ketupat Lebaran. Dihimpun dari berbagai sumber, berikut asal-usul ketupat yang menjadi makanan khas Lebaran.
Angelina Rianti dan koleganya pernah membahas sejarah ketupat dan hubungannya dengan tradisi Lebaran di Indonesia yang ditulis dalam Journal of Ethnic Foods (Science Direct, Maret 2018). Berdasarkan informasi dari jurnal tersebut, ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Sunan Kalijaga sendiri merupakan seorang teolog dan salah seorang dari sembilan Walisongo yang sangat berperan dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Selama berdakwah di Demak, Sunan Kalijaga melangsungkan dua acara sesudah bulan Ramadan, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Cilik atau Bakda Kupat.
Bakda Lebaran diadakan pada hari pertama Idulfitri dengan berdoa dan silaturahmi. Sementara Bakda Kupat dirayakan seminggu setelahnya. Bakda Kupat sendiri sebenarnya berakar dari kebudayaan sebelumnya, yang kemudian diadaptasi oleh Sunan Kalijaga menjadi tradisi Islam di Pulau Jawa.
Saat Bakda Kupat, hampir semua orang membuat hidangan olahan beras yang kemudian diberi nama kupat atau ketupat. Mereka membuat anyaman persegi wajik menggunakan janur, lalu mengisinya dengan beras, setelah itu dikukus dan dikeringkan. Ketupat lalu dibagikan pada kerabat dekat sebagai simbol kebersamaan dan saling berbagi.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ketupat pun menyebar ke beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Hal ini beriringan dengan penyebaran agama Islam yang semakin meluas dan membawa salah satu tradisi budaya khas Indonesia, yakni membuat ketupat saat Lebaran.
Secara filosofis, ketupat menjadi simbol permintaan maaf dan berkah, yang juga sesuai dengan makna Idulfitri. Beras yang digunakan untuk membuat ketupat melambangkan nafsu. Sementara salah satu versi sejarah meyakini bahwa janur merupakan singkatan dari jatining nur, ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti hati nurani. Dengan kata lain, ketupat berarti pelambangan nafsu dan hati nurani. Melalui ketupat, manusia diharapkan mampu menahan nafsu dengan hati nurani mereka.
Sementara itu, dalam bahasa Sunda, ketupat kerap disebut kupat. Orang Sunda percaya, kupat dapat mengingatkan manusia untuk tidak mengumpat atau berbicara hal buruk pada orang lain.
Dalam bahasa Jawa, ketupat juga menjadi semacam frasa yang merujuk pada “ngaku lepat atau mengaku salah.” Ada pesan tersirat yang menganjurkan manusia untuk meminta maaf jika memiliki salah. Perilaku ini telah menjadi kebiasaan atau tradisi pada awal bulan Syawal atau hari pertama Idulfitri, dan akhir bulan Ramadan yang ditandai dengan makan ketupat didampingi beberapa lauk.
Ketupat juga digunakan sebagai simbol pengakuan. "Selain ngaku lepat, ketupat juga diartikan sebagai laku papat (empat keutamaan). Laku papat terdiri dari empat tindakan, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan," tulis jurnal tersebut.
Lebaran, yang berarti lebar, berarti pintu maaf terbuka lebar. Saat seseorang memaafkan kesalahan orang lain, mereka akan menerima banyak berkah. Kata lebaran juga merujuk pada kata lebar dalam bahasa Jawa yang bermakna, "sesudah selesai". Bulan Ramadan yang sudah usai dirayakan dengan makan ketupat.
Sementara Luberan berarti "berlimpah," yang memberikan pesan untuk membagikan harta mereka kepada orang yang kurang beruntung melalui amal. Sedangkan Leburan berarti saling memaafkan. Semua kesalahan dapat diamaafkan pada hari itu karena manusia dituntut untuk saling memaafkan.
Dan Laburan diambil dari kata dalam bahasa Jawa “Labur” yang berarti manusia murni dan bebas dari dosa. Dalam hal ini, ketupat memberikan pesan untuk menjaga kejujuran diri. Karena itu, setelah melakukan leburan (saling memaafkan), orang harus mencerminkan sikap yang baik.
"Berdasarkan wawancara dengan salah satu pakar budaya Jawa, nasi putih diartikan sebagai simbol kemakmuran dan kebahagiaan. Pembungkus hijau kekuningan dianggap sebagai salah satu tolak penguatan atau menolak nasib buruk. Proses menggantung ketupat setelah dimasak di depan rumah dilambangkan sebagai salah satu bentuk atau tradisi mengusir roh jahat," jelas jurnal tersebut. Karena itu, ketupat acap kali dijumpai menggantung di ambang pintu untuk mencegah roh jahat masuk ke dalam rumah.
Ketupat juga biasanya disajikan dengan cara berbeda. Salah satunya dicampur menggunakan santan sebagai media mendidih alih-alih air. Santan dalam bahasa Jawa disebut santen, yang berarti "pangapunten" atau permintaan maaf.
Seorang antropolog Indonesia menafsirkan ketupat sebagai salah satu simbol solidaritas sosial atau hubungan timbal balik seperti memberi dan menerima, yang dikenal sebagai hukum timbal balik.
Hubungan timbal balik tesebut diwujudkan dalam kebiasaan saling memberi ketupat. Perilaku memberi menunjukkan hubungan timbal balik antara satu orang dan orang lain. "Perilaku seperti itu menandakan hubungan sosial karena kontak dan komunikasi dengan orang lain yang akan mengarah pada sikap solidaritas," ujar tim penulis dalam jurnal.